Dewan Minta Pemerintah Tidak Gunakan Pendekatan Market Ekonomi
Sebagaimana kita ketahui di tahun 2016 ini Indonesia masuk dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), dimana ada kekhawatiran dari dunia industri mengenai harga produknya. Anggota Komisi VII DPR RI Satya W. Yudha minta kepada pemerintah dalam hal ini Dirjen Migas Kementerian ESDM dalam menentukan harga minyak dan gas tidak menggunakan pendekatan market ekonomi.
“Kalau kita masih menggunakan pendekatan konservatif dimana pemerintah tidak adaptable, saya tidak yakin kalau Indonesia menjadi kompetitif dari sisi hilir yang menggunakan daripada gas itu. Tetapi kita mesti menyadari, kita juga tidak boleh market ekonomi,” kata Satya saat Rapat Dengar Pendapat Komisi VII dengan Dirjen Migas Kementerian ESDM, Kepala BPH Migas, Dirut Pertamina (Persero), dan Dirut PT Perusahaan Gas Negara (Persero) di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (2/2/2016).
Ia menjelaskan, begitu produk luar masuk di Indonesia, natural resources kita itu harus diintervensi pemerintah. Karena itu merupakan esensi Pasal 33 UUD 1945 seperti yang disampaikan Kepala BP Migas Andi Noorsaman Sommeng dalam rapat tersebut, dimana diatur oleh negara, ada intervensi.
“Ini yang menjadi permasalahan mendasar menurut saya, kita masuk MEA tetapi kita tidak siap sebetulnya dari semua perangkat hukumnya,” ujar politisi Partai Golkar ini.
Jika kita masih menggunakan perangkat aturan dimana intervensi pemerintah ada, lanjut Satya, kita otomatis harus melakukan regular checking agar harga itu bisa kompetitif. Jika tidak produk dalam negeri akan kalah bersaing. Kecuali jika disisi hilirnya disubsidi.
“Jadi produknya yang disubsidi, kalau tidak dia akan menjerit. Kita tidak bisa berkompetisi dengan Vietnam atau dengan negara yang lainnya. Sementara jika sekarang kita promosikan regional price tidak mungkin. Karena begitu masuk regional price itu against constitution,” imbuhnya.
Ia menilai formula harga gas pemerintah yang disampaikan dalam rapat tersebut sudah bagus. Hanya pemerintah harus memberikan time prime sampai kapan menggunakan formula tersebut. “Ini mesti kita review dari waktu ke waktu. Kapan kita merubahnya dan dasarnya apa,” tandas Satya.
“Sekarang kita harus menetapkan satu waktu yang secara regular kita melakukan review mengenai harga ini. Saya yakin apa yang dikeluhkan industri menjadi masalah tersendiri. Belum lagi berhadapan dengan import gas aturannya bagaimana,” paparnya.
Seperti yang sudah dijelaskan Satya, bahwa UUD 1945 tidak memungkinkan Indonesia untuk market price. Dalam rapat dengar pendapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VII Fadel Muhammd tersebut, Satya memberikan contoh, bahwa jika Indonesia impor gas dari midle east itu lebih murah itu satu dan lain hal, lalu bagaimana Indonesia mengaturnya begitu itu masuk di domestik. Menurutnya, Dirjen Migas harus memikirkannya. Menurutnya, Itu sesuatu yang tidak bisa di stop.
“Jadi formula harga gas impor begitu masuk di Indonesia kan tidak bisa, misalkan Qatar dia jual ke Amerika, Jepang dia bisa pakai GCC atau apa saja, tapi begitu masuk ke Indonesia, formula apa yang dipakai, negosiasi kan?” tanya pimpinan Fraksi Partai Golkar DPR RI itu.
“Begitu negosiasi, apakah kita bisa kompetitif kalau ternyata harganya katakan harus rendah sekali, sementara cara kita melihat harga gas domestik berdasarkan daripada lapangan,” imbuhnya.
Kesulitan lapangan kita itu, tandas Satya, bisa terbunuh harganya dengan kompetisi dari harga luar yang masuk. “Cost per barel yang ada di Qatar dan cost per barel yang ada di Indonesia pasti beda, beda lapangannya mungkin lebih mudah di sana karena reservenya yang luar biasa besar,” mantapnya.
“Jadi ini menurut saya yang merupakan PR luar biasa. Menurut saya Panja Migas Komisi VII harus mendalami ini juga. Karena kalau tidak nanti, kita dari waktu ke waktu hanya dikritisi yang akhirnya Dirjen akan kerepotan untuk mengatur harga karena negara memang harus mengatur harga,” terang Satya.
Menurut Satya, begitu pula konteksnya dalam formula harga BBM. Sebetulnya ia tidak sepakat dari dulu. Dirinya masih ingat, karena waktu itu ia yang memimpin rapatnya. Diputuskan reviewnya 6 bulan, kemudian ada kalimat bisa direview setiap saat apabila ada hal-hal kritis. Kalau modelnya seperti itu, kata Satya, sama saja kita lepas dipasar.
“Justru yang kita pikirkan adalah ada waktu tertentu untuk masyarakat menikmati harga pada kurun waktu tertentu. Disinilah letak intervensi negara, disinilai saatnya negara melindungi rakyat kita,” mantap Satya.
Dijelaskan Satya, jika ada selisih ternyata harga pasar lebih rendah dibandingkan dengan harga yang rakyat jual, dalam arti rakyat mensubsidi negara. Ia minta itu dipertanggungjawabkan saja selama tiga bulan. “Iniloh ada yang dibayar oleh rakyat. Kalua itu mau dimasukkan ke dalam dana ketahanan energi ataupun apa nantinya itu ada mekanisme dalam APBN yang bisa kita atur,” kata Satya. (sc), foto : iwan armanias/parle/hr.